JALAN PANJANG MENJADI WARGA NEGARA INDONESIA
PENDAHULUAN...
Disahkannya UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI merupakan titik nadir bagi perjuangan para warga negara Indonesia keturunan, khususnya etnis Tionghoa di Indonesia. Sebelumnya, ratusan bahkan ribuan kasus diskriminasi terhadap warga negara yang dianggap asing atau “anak tiri” oleh negaranya sendiri untuk memperoleh status kewarganaan republik Indonesia. Ini terjadi salah satunya dikarenakan politik kependudukan Belanda yang didasarkan doktrin divide et impera. Beda halnya dengan keberadaan etnis Tionghoa di Thailand dan Filipina yang mana keberadaan mereka sudak tidak lagi menjadi persoalan karena sebagai warga negara mereka sepenuhnya diakui sebagai sesama bangsa Thai ataupun sesama bangsa Filipina. Ini karena kedua negara tidak mengalami politik hukum pecah belah.
Bila dilihat  dari sejarahnya, praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia berawal pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang mengeluarkan ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregelling Wet van 2 September 1854, Ned. S. 1854-2, S. 1855-2 jo. 1, yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga golongan penduduk, yakni (1) Golongan Eropa, (2) Golongan Timur Asing, seperti Tionghoa, India, Arab, dan (3) Golongan Pribumi. Hal ini dilakukan sebagai refleksi politik devide et impera Pemerintah Hindia Belanda. Politik devide et impera ini kemudian dilanjutkan kembali dipraktikkan oleh rezim Orde Baru dengan menciptakan pengkotak-kotakan dalam kehidupan bangsa Indonesia, misalnya Jawa dan non-Jawa, muslim dan non-muslim, militer dan sipil, mayoritas dan minoritas, pribumi dan non-pribumi.
Dengan menggunakan hukum sebagai sebagai alat untuk mendiskriminasikan etnis Tionghoa di Indonesia, rezim Orde Baru secara sistematis dan konsisten telah melakukan pembatasan, penekanan, dan menghancurkan hak-hak politik etnis Tionghoa di Indonesia dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang sangat mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia. Peluang bisnis bagi etnis Tionghoa diberikan sebasar-besarnya kepada sekelompok kecil etnis Tionghoa sehingga tercipta golongan konglomerat dari etnis Tionghoa yang dianggap sebagai golongan oportunis, yang hanya memperkaya diei sendiri tanpa memperdulikan nasib masyarakat di sekitarnya, yang akhirnya menimbulkan anggapan stereotype sebagaimana dideskripsikan kaum kolonial bahwa etnis Tionghoa telah menyebabkan kemiskinan bagi rakyat Indonesia.
Dalam konteks kultural, diskriminasi, hubungan antar-individu, sebenarnya merupakan fenomena yang umum terjadi di manapun di belahan dunia ini. Namun, menjadi tidak lazim dan menjadi permasalahan yang serius ketika suatu pemerintahan negara yang berdasarkan kepada hukum dan demokrasi , malakukan politik diskriminasi terhadap warganya sendiri, melalui kebijakan, yang merupakan pelanggaran atas hak dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dan di Indonesia, diskriminasim ini menjadi kebijakan yang populis dan tersistematis  sejak zaman kolonial Belanda sampai dengan berkuasanya rezim Orde Baru.
Adanya penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) merupakan salah satu bentuk politik diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru kepada WNI “keturunan, khusunya kepada etnis Tionghoa. Dilakukannya penerapan SBKRI ini, maka secara esensi akan menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status quo atau status hukum WNI masih dipertanyakan. Sebegitu pentingnya SBKRI ini, siapa pun warga negara etnis Tionghoa, kemana pun dia pergi harus memiliki SBKRI ini sebagai modal utama dalam pengursan apapun dalam birokrasi, baik itu membuat KTP, paspor, kartu keluarga, dan lain-lainnya.
Para tokoh atlet khususnya para atlet bulu tangkis keturunan etnis Tionghoa seperti Hendrawan (sang peraih Piala Thomas di Guangzhou), Susu Susanti dan Alan Budi Kusuma yang telah nyata-nyata membawa nama harum bagi bangsa Indonesia di mata dunia melalui prestasi gemilang yang mereka raih pun masi juga harus direpotkan dengan tidak adanya pengakuan bagi mereka dan anak-anaknya sebagai WNI jika tidak memiliki  SBKRI. Bayangkan, jika mereka atlet yang sangat berprestasi dan dikenal masi tetap saja dipelakukan secara diskriminasi, bagaimana garis keturunan etnis Tionghoa lain yang biasa-biasa saja?
Runtuhnya rezim Orde Baru dan terjadinya kerusuhan besar-besaran diberbagai pelosok begeri ini merupakan sebuah kebangkitan awal menuju proses perjuangan dan perubahan bagi keturunan etnis Tionghoa. Jatuhnya kekuasaan Soeharto yang diikuti kerusuhan massal berbau rasial, dimana banyak rumah-rumah etnis Tionghoa dijarah, dibakar, dan para wanita dan anak-anak banyak diperkosa merupakan sebuak titik akumulasi dari dampak yang diciptakan oleh rezim Orde Baru sehingga berdampak kebencian dari para pribumi kepada etnis Tionghoa.
Etnis Cina dan perempuan adalah target paling lemah dan mudah dituju.Puluhan atau bahkan mungkin ratusan perempuan etnis Cina menjadi korban pelecehan seksual dan perkosaan yang terjadi ketika rumah-rumah atau toko-toko mereka dibakar dan dijarah pada tanggal 13 dan 14 Mei dulu di Jakarta. Begitu biadabnya para pelaku seolah mereka sudah tidak memiliki rasa perikemanusian sedikitpun. Para korban, tidak saja dilecehkan atau diperkosa, tapi ada pula yang dicekik dan dibunuh. Sebagian korban mengalami gangguan jiwa sangat serius. Mengingat para korban sangat trauma dan ketakutan untuk mengungkapkan peristiwa yang menimpa mereka, maka para relawan bersikap
Ketika para pegawai pulang naik bis didalam bis, penumpang di pilah-
pilah. Para penumpang Cina disuruh turun, disuruh membuka baju, dan
kemudian disuruh jalan berbaris. Mereka digiring ke padang ilalang
dipinggir jalan dan di pilah-pilah lagi. Yang berparas cantik diperkosa.
Sedangkan yang berparas tidak begitu cantik disuruh berjalan telanjang.
Modus berikutnya, perempuan-perempuan Cina secara ramai-ramai
ditelanjangi dijalan raya, kemudian tubuhnya digerayangi. Kami menemukan
putingnya ada yang sobek dan seluruh badan memar. Ada lagi pegawai bank.
Sebanyak sepuluh orang memasuki bank dan menutup bank tersebut. Para
pegawai Cina disuruh menari-nari dengan telanjang. Kemudian ada tiga
anak gadis dari keluarga Cina miskin yang diperkosa. Mereka berumur 10
sampai delapan belas tahun, diperkosa oleh tujuh orang disebuah tempat
di Jakarta Utara/Barat.
Yang berikutnya adalah sebuah keluarga yang kebetulan kakak perempuan
para korban mengaku kepada Ita Nadia bahwa dua adik perempuannya
diperkosa di lantai tiga rumah mereka oleh tujuh orang pula. Setelah
diperkosa, dua adik perempuan itu didorong ke lantai dua dan satu dimana
api telah berkobar, sehingga dua adik tersebut meninggal. Itu beberapa
kasus. Kasus-kasus lain, mereka biasanya diperkosa, kemudian dicekik.
Tetapi ada juga yang ketika diperkosa, korban kemudian membunuh diri.
Para korban ini tidak hanya diperkosa di vagina tetapi juga di dubur dan
diikuti pula dengan pengrusakan vagina. Itu dilakukan secara sistematis
karena tidak dilakukan oleh orang biasa. Secara politis, saya mau bilang
bahwa ini adalah perbuatan untuk menunjukkan "kalau kamu menuntut
reformasi dan demokrasi, ini adalah bagian yang harus kamu bayar. Dan
bagian yang harus kamu bayar adalah mengorbankan etnis Cina, dalam hal
ini adalah perempuan sebagai target untuk membangun sebuah teror atau
ketakutan di masyarakat untuk mengintimidasi masayarakat. Jadi
dipilihlah etnis Cina dan perempuan dan non muslim karena merekalah yang
paling lemah".
“Sekitar jam 11.30, saya melihat beberapa orang di antara massa mencegat sebuah mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik dua orang gadis keluar. Mereka mulai melucuti pakaian kedua gadis itu dan memperkosanya beramai-ramai. Kedua gadis itu coba melawan sambil menjerit ketakutan, namun sia-sia,” tutur seorang saksi mata di Muara Angke, Jakarta pada tanggal 14 Mei 1998.
Hampir seratus perempuan Indonesia etnis Tionghoa menderita kekerasan seksual dalam tragedi kemanusiaan 13-15 Mei 1998 dan 1.339 warga Indonesia menderita kematian dini di beberapa supermarket yang dibakar gerakan massa. Penembakan yang menyebabkan kematian dini empat mahasiswa Universitas Trisakti mendahului tragedi Mei. Langit siang Jakarta menjadi gelap dan langit malam menjadi merah membara oleh kobaran asap dan pembakaran terhadap lebih dari 5.723 bangunan, 1948 kendaraan dan 516 fasilitas umum dengan total kerugian material, moral dan jiwa yang tak terhargai. Kekerasan serupa juga berlangsung di beberapa kota lain, seperti Surabaya, Palembang, Solo dan Lampung (Jusuf, Timbul, Gultom & Frishka, 2007).  
 Akhir kisah Tragis...
Terpilihnya KH. Abdrurrahman Wahid (Gus Dur)enjadi seorang presiden setelah menggantikan B.J. Habibie merupakan awal dan langkah baru untuk penataan keseragaman berbagai etnis di Indonesia termasuk WNI keturunan yakni etnis Tionghoa. Diakuinya agama Kong Fhu chu sebagai agama resmi di Indonesia dan pemberian kebebasan bagi kebudayaan Tionghoa seperti halnya tarian barongsai atau hal lainnya yang selama Orde Baru sangat dilarang, sampaikan dengan diterbit dan disahkannya UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI merupakan sebuah angin segar yang membawa kesejukan dan kedamaian bagi sebagaian WNI, terutama etnis Tionghoa. Diterbitkannya UU ini pula sebagai pengganti dari kebijakan penerapan SBKRI sebagai syarat utama menjadi seorang WNI. Tidak hanya berguna bagi etnis Tionghoa, UU ini juga bermanfaat bagi WNI yang menikah dengan orang asing yang nantinya menyebabkan permasalahan bagi kewarganegaraan anak pasangan yang melakukan pernikahan campuran ini.
BODY TYPES THEORIES
( TEORI-TEORI TIPE FISIK )
Oleh
LUSIANA ( 402 0711 014 )
MARINA GUSTIANINGSIH ( 402 0711 016 )
M.ADHA AL QODRI ( 402 0711 017 )

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
JUNI 2010 
C. WILLIAM H. SHELDON ( 1898-1977 )
            Di samping membawa pendapat Kretschmer ke Amerika Serikat, William H. Sheldon memformulasikan sendiri kelompok somatotypes, diantaranya yaitu ada tiga jenis :
1.      The Endomorph ( memiliki tubuh gemuk )
2.      Mesomorph ( berotot dan bertubuh atletis )
3.      The Ectomorph ( tinggi, kurus, fisik yang rapuh )
Setiap tipe tadi mempunyai tempramen yang berbeda. Menurut Sheldon : “Solid flesh and bone of the individual” ( daging padat dan tulang seorang individu ) merupakan “basis for the study” ( dasar untuk melakukan kajian ) yang memberikan satu frame of reference. Beliau juga berpendapat bahwa ada “high correlation between physyque and temperament”, tetapi “not one to one relationship”.
Menurut Sheldon, orang yang di dominasi sifat bawaan mesomorph ( secara fisik kuat, agresif, dan atletis ) cenderung lebih dari orang lainnya untuk terlibat dalam perilaku illegal. Dalam studinya, William H.Sheldon meneliti 200 orang pria berusia antara 15 dan 21 dalam usaha menghubungkan fisik dengan tempramen, kecerdasan, dan delinquency. Dengan mengandalkan pada pengujian fisik dan psikologis, Sheldon menghasilkan suatu “index to Delinquency” yang dapat di gunakan untuk memberi profil dari tiap problem pria secara mudah dan cepat.
Menurut Sheldon ada suatu struktur biologis hipotesis, yaitu morfogenotipe sangat penting dalam menentukan perkembangan jasmani yang nampak ( fenotipe ) dan dalam menentukan perkembangan perilaku. Morphogenotipe adalah proses perkembangan organ atau jaringan dan diferensiasi yang terjadi sesuai yang dilakukan oleh organ/jaringan. seperti : §Organ yang berasal dari endoderm (sistem digestif) §Organ yang berasal dari mesoderm (otot-otot, pembuluh darah, jantung)‏§Organ yang berasal dari ectoderm (kulit, sistem syaraf).
Phenotipe adalah keadaan jasmani / lahiriah, seperti kepala, leher, dada, lengan, panggul, perut. Somatotipe merupakan cara untuk mengukur morphogenotipe melalui phenotype. Morphogenotipe tidak bisa diteliti secara langsung, sehingga untuk mengukur morphogenotipe maka melalui phenotype, misal dengan mengukur kepala, leher, dada.

D. SHELDON GLUECK ( 1896-1980 ) DAN ELEANOR GLUECK ( 1898-1972 )
Temuan William Sheldon mendapat dukungan dari Sheldon Glueck dan Eleanor Glueck ( 1950 ) yang melakukan studi komparatif antara pria delinquent dengan non-delinquent. Sebagai suatu kelompok, pria delinquent didapati memiliki wajah yang lebih sempit ( kecil ), dada yang lebih lebar, pinggang yang lebih besar dan luas, lengan bawah dan lengan atas yang lebih besar dibandingkan dengan yang non-delinquent. Penyelidikan mereka juga mendapati bahwa kurang lebih 60% delinquent dan 30% non-delinquent didomiasi mereka yang mesomorphic. 
Referensi :
Buku :
Santoso Topo, Achjani Zulfa Eva. 2008. Kriminologi. PT.Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Internet :
http://el-nashfi.blogspot.com/2010/03/hubungan-bentuk-fisik-manusia-dengan.html
0 Responses

Posting Komentar

  • Provinsi Kep.Bangka Belitung

    Provinsi Kep.Bangka Belitung

    Pengikut

    Mengenai Saya

    Foto saya
    Pangkalpinang, Bangka Belitung, Indonesia
    presenter news n host talkshow di tv lokal bangka belitung

    Kontak YM